Rss Feed
Rss Feed

Sabtu, 24 Maret 2012

PERSENTUHAN AWAL TIONGHOA - NUSANTARA


Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Nusantara, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. orang Hokkian merupakan mayoritas perantau di Nusantara diantara daerah-daerah pesisr cina lainnya, yaitu Tiochiu, Konghu dan Hakka.
Dari beberapa bukti temuan arkheologis seperti sejumlah genderang dongson, (Benny G. Setiono, 2008: 19.) tembikar kuno Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan menunjukkan hubungan lalulintas antara orang Tionghoa dari Tiongkok dengan Nusantara telah berlangsung sejak sebelum abad ke-1 M. Sebagai bukti adalah ketika utusan dari Roma Marcus Aurelius datang ke Tiongkok tahun 166 M bersamaan dengan utusan dari india dan Nusantara yang datang ke kerajaan itu.( Candrasasmita, 89) Selain itu, berdasarkan kronik dan berbagai cerita dalam dinasti Han maka dalam masa pemerintahan Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM) ternyata Tionghoa telah mengenl Nusantara dengan sebutan Huang-tse.
Namun, keterangan lain mengatakan bahwa Sebelum abad ke-4 M, yang ditandai oleh kedatangan pendeta beragama Budha Fa hien dan Gunawarman di Ye-po-ti yang diidentivikasikan sebagai Sriwijaya –ada juga yang mengidentifikasikan sebagai Jawa-, belum dijumpai bukti interaksi yang terjadi antara Nusantara dan Tiongkok. J.C. van Leur berpendapat bahwa hubungan perdagangan antara Nusantara dan India berlangsung lebih awal (abad ke-1 M) dari pada Tiongkok. Hal tersebut dikarenakan perhatian imperium Tionghoa pada masa itu baru sampai pesisir selatan dan Tonkin. Pengaruh kekuasaan politik itu berlangnsung hingga masa kekejaman pemerintahan Chin Shih Huang ti serta timbulnya imperium periode pertama yang mengusai daerah Shansi oleh dinasti Han. Oleh karena itu, sebagian perdagangan dan pelayaran di laut cina selatan dilakukan oleh orang-orang Nusantara dan barangkali oleh orang-orang dari barat, yaitu India.
Setelah melakukan perjalanan selama 25 tahun ia pun pulang ke Tiongkok (Guangdong/Kwangtung) dengan mambawa bukunya Nan Hai Chi Kuei Fa Cha’uan Dan Ta T’ang Si Yuk Ufa Kao Seng Ch’uan serta naskah yang terdiri dari Limaratus Ribu Sloka yang deberikan kepada pemerintahan Cheng heng tahun 695 M. atas dasar itulah ekspedisi-ekspedisi dari Tiongkok ke Nusantara berlanjut.
Hubunga pelayaran dan perdagangan antar negeri di wilayah-wilayah tersebut didorong oleh berkembangnya tiga kerajaan besar sejak abad ke 7 M, dinasti tang di Tiongkok, Sriwijaya di asia tenggara, dan bani Umayyah di asia barat (timur tengah).
Adanya Hubungan antara Sriwijaya dengan Timur Tengah itu pula dibuktikan dengan surat-surat yang dikirim oleh Raja Sriwijaya pada Khalifah Muawiyyah (661M) dalam kitab al hayawan oleh Al Jahiz, kutipan dari Amr Al Bahr 165-255 H / 783-869 M) . Dan surat kedua dialamatkan kepada Khalifah Umar Bin Abdul Aziz  (7 M) dalam karyanya Al Ikd Al Farid (860-940 M). yang mungkin itu dikarenakan adanya ekspedisi besar-besaran pada abad 12 -13 oleh kerajaan Singosari dari Jawa dan Mongol dari Tingkok (Uka Tjandrasasmita, 2009:81-82).
Setelah masa itu, Orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Nusantara untuk berdagang, mencari penghidupan baru dan belajar agama Budha pada abad ke-9, yaitu pada zaman dinasti Tang (Agus aris Munandar, 2009: 71). Ditemukan berbagai alasan mengenai Awal mula orang-orang tionghoa menetap di Nusantara. Fakta bahwa perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu satu tahun karena pengaruh musim. Dengan dimikian, orang-orang Tionghoa harus tingal selama 6 bulan. Selain itu orang-orang Tionghoa mempertahankan kependudukannya karena pada masa itu mereka diterima oleh orang pribumi setempat untuk hidup berdampingan dengan damai di Nusantara. (Benny G. Setiono, 2008: 20).
Selain dari beberapa alasan di atas, hal yang memungkinkan untuk di jadikan sebab imigrasi bangsa Tionghoa ke Nusantara adalah terjadinya pemberontakan kaum tani Cina terhadap Kaisar Hi Tsung Pada abad ke-9 (masa dinasti Tang). Pemberontakan tersebut dibantu oleh orang-orang tashih (Arab). Kemudian setelah terjadi pergolakan politik yang besar tersebut, banyak orang-orang Cina lari ke daerah Sriwijaya (saat ini dikenal Palembang) maupun Jawa (Agus aris munandar, 2009: 71).
Terjadinya pergolakan politik pada masa dinasti Tang di Tiongkok menjadikan daerah tersebut tidak stabil.  Sedangkan di bagian Asia yang lain, bangsa Mongol mengalami Kemajuan pesat. la berhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada waktu itu. Setelah Yasugi meninggal, puteranya, Timujin yang masih berusia 13 tahun tampil sebagai pemimpin. Dalam waktu 30 tahun, ia berusaha memperkuat angkatan perangnya dengan menyatukan bangsa Mongol dengan suku bangsa lain sehingga menjadi satu pasukan yang teratur dan tangguh. Pada tahun 1206 M, ia mendapat gelar Jengis Khan, Raja Yang Perkasa. la menetapkan suatu undang-undang yang disebutnya Alyasak atau Alyasah, untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Wanita mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam kemiliteran. Pasukan perang dibagi dalam beberapa kelompok besar dan kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan. Dengan demikian bangsa Mongol mengalami kemajuan pesat di bidang militer. Setelah pasukan perangnya terorganisasi dengan haik, Jengis Khan berusaha memperluas wilayah kekuasaan dengan melakukan penaklukan terhadap daerah-daerah lain. Serangan pertama diarahkan ke kerajaan Cina/Tiongkok.
Setelah Jengis Khan mempunyai kekuasaan yang sangat besar, bahkan sampai ke Bagdad dan menghancurkan dinasti Abbasiyah, ia hendak menundukkan kerajaan-kerajaan yang ada, bahkan Jawa. Maka ia mengirim utusan ke Jawa yang pada saat itu dikuasai oleh Siongosari (Kertanegara). Tapi ternyata tawaran Jengis Khan untuk tunduk pada negeri mongol di tolak oleh Kertanegara dan utusan dari mongol itu di cederai mukanya.
Setelah utusan (bernama Meng Chi) itu kembali dan melaporkan kejadian di Siongosari itu, maka Jengis Khan sangat murka. Kemudian segeralah dikeluarkan perintah untuk menghancurkan kerajaan Singosari di Jawa tersebut. Akhirnya, merekapun berlayar menuju Singosari dengan armada yang sangat besar. Namun dalam penyerangan itu, ternyata keadaan di Singosari telah berubah. Terjadi pergantian kekuasaan dari prabu Kertanegara pada Jayakatwang yang mengalihkan ibukotanya ke Kediri. Dalam pemberontakan itu, Kertanegara tewas. Sedangkan menantunya, Raden Wijaya, diasingkan di daerah perdikan (Majapahit).
Selanjutnya, dalam penyerangannya ke Singosari yang telah dikudeta tersebut, pasukan mongol bergabung dengan pasukan yang telah dihimpun oleh Raden Wijaya. Hasilnya, kediripun dapat ditundukkan oleh persekutuan itu. Namun, Raden Wijaya malah menyerang balik pasukan Mongol hingga tunggang langgang (sebagian ada yang kembali ke negaranya, ada yang terbunuh, dan ada yang berlari ke daerah pedalaman untuk selanjutnya menetap). Atas kegagalan serangan itu, Hulagu Khan sangat terpukul dan tidak melakukan serangan balasan.
Hulagu meninggal tahun 1265 M dan diganti oleh anaknya, Abaga ( 1265-1282 M) yang masuk Kristen. Baru rajanya yang ketiga, Ahmad Teguder ( 1282-1284M), yang masuk Islam. Karena masuk Islam, Ahmad Teguder ditantang oleh pembesar-pembesar kerajaan yang lain. Akhimya, ia ditangkap dan dibunuh oleh Arghun yang kemudian menggantikannya menjadi raja (1284-1291 M). Raja dinasti Ilkhan yang keempat ini sangat kejam terhadap umat Islam. Banyak di antara mereka yang dibunuh dan diusir. Kejadian-kejadian inilah yang disinyalir menjadi salah satu sebab banyak imigran Muslim dari Cina di Nusantara pada abad itu.
Jalannya serangan Mongol ke Jawa tersebut tercatat baik dalam naskah Cina daratan maupun naskah-naskah Jawa (pararaton, dll). Ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah politik dan budaya jawa, karena Majapahit yang waktu itu didirikan sebagai pengganti kerajaan sebelumnya (Singosari) nampaknya mempunyai hubungan yang baik dengan kekaisaran Cina. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan temuan-temuan keramik bergaya Cina di situs Kerajaan Majapahit (menunjukkan pengaruh seni Cina). Cerita tentang tukang-tukang Cina yang bekerja di ditanah Majapahit semua itu tercatat baik dalam catatan tahunan Melayu.
Fakta-fakta tersebut dapat disambungkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa sangat mustahil laksamana Cheng Hoo mendaratkan kapalnya di Jawa, jika ia tidak mengetahui bahwa waktu itu Cina pernah bersinggungan terlebih dahulu dengan kerajaan Majapahit dan berhubungan baik. Dan dalam pelayaran (Cheng ho) itu, Ma Huan mendeskripsikan adanya sekelompok orang-orang Islam taat. Mereka rajin beribadah, puasa, dan tidak memakan daging babi (H.J de Graaff dkk, 1998: 55). Ekspedisi Cheng hoo berlangsung sekitar abad 15 pada masa dinasti Ming dibawah kekuasaan kaisar Chang Tsu setelah pendahulunya, Hwui Ti dilengserkan dari tahtanya
Berbeda dengan kekaisaran-kekaisaran sebelumnya, Kekaisaran Ming mempunyai ekspansi dengan bentuk damai dengan mengutus diplomat-diplomat ke setiap negara yang ada untuk menjalin hubungan kenegaraan yang baik.
Seperti yang tercatat dalam buku sejarah Tiongkok, kaisar dinasti Ming telah menyusun pedoman diplomatiknya agar pengaruh politik kekaisaran Ming semakin meluas. Demikian peraturan politik diplomatiknya:
1.    Dijalankan kerukunan dan persahabatan dengan negara-negara lain. (pada tahun young le pertama (1403) oleh kaisar ming, dikirim utusan persahabatan ke korea, campa, siam, Kamboja, jawa, Sumatra dengan membawa sutra dewangga berbenang emas, dan banyak lagi cendera mata lainnya.
2.    Penduduk sepanjang pantai Tiongkok dilarang merantau tanpa surat ijin (untuk mengucilkan perompak-perompak Jepang yang sering mengganggu kemaanan perdagangan).
3.    Segera dikirim utusan ke negara-negara lain dan pertukaran.
Atas dasar itulah, ia mengutus Cheng hoo untuk melakukan pelayaran. Selain motif diplomatik itu, ada juga terselip maksud menacari bekas kaisar Zhu Yunwen yang dikabarkan melarikan diri ke luar negeri.
Setelah ekspedisi Cheng hoo yang bermisi diplomatik tersebut, hubungan antara Nusantara dan Tiongkok pun semakin erat saja. Dalam bidang perdagangan, politik, dan agama. Pernyataan ini didukung oleh catatan melayu yang dengan jelas menyebutkan bahwa tidak ada maksud untuk menguasai tanah yang menjadi milik raja Majapahit, karena istana kerajaan Cina sudah menjalin hubungan persahabatan melalui duta besar Ma Hong Fu.
Satu lagi fakta bahwa hubungan antara Tionghoa dan Nusantara kala itu sangat erat adalah ketika Pieter Both (1611) menjadi gubernur jenderal VOC yang masihberkedudukan Dimaluku, ia mengutus bawahannya Jan Pieterzoon Coen untuk membeli hasil bumi, terutama lada di Banten. Dibanten, Coen bertemu seorang pedagang Tionghoa yang sangat berpengaruh, namanya Souw Beng Kong. Ia sangat dipercaya penuh oleh petani dan pedagang banten untuk memperantarai perdagangan mereka dengan bangsa Portugis, Inggris dan Belanda.
Orang Tionghoa yang datang ke Nusantara tidaklah homogen, melainkan mempunyai kenyataan yang berlimpah mengenai kebhinnekaan dan kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan cara hidup dan kepercayaan setempat. Bahkan dalam penggunaan bahasa “dialek” pun mereka kadang tidak saling memahami. Kebhinnekaan para imigran ini dilipatgandakan oleh pengaruh kebudayaan asli Nusantara yang dialami oleh keturunan mereka. Skinner dalam tulisannya menunjukkan bahwa “biasanya bila suatu daerah Indonesai ditentukan untuk dihuni oleh orang Tionghoa dalam jumlah yang cukup besar sebelum abad ini, biasanya pada zaman sekarang menjadi masyarakat Tionghoa yang dalam bnayak hal bercorak dua. Disatu sisi terdapat orang tiong hoa yang berakar setempat, yang baik orang tua ataupun anak-anak mereka lahir di Nusantara, sehingga orientasi mereka untuk kembali ke Tiongkok sangat kecil dan pengaruh budaya Nusantara sangatlah kental. Dan disisi lain ada juga imigran yang orientasi ke Tiongkok masih sangat besar.
Kecenderungan untuk menjadi dua kelompok itu menurut skinner dibagi menjadi dua hal yang penting diperhatikan, yaitu karena lamanya orang Tionghoa itu bermukim di indonesai (terutama dalam kurun waktu kedatangan para imigran wanita Tionghoa) dan tingkat budaya perbandingan dari penduduk pribumi di tempat mereka bermukim.
Selain itu, khususnya di jawa, muncul pembedaan istilah sebutan untuk orang tiong hoa berdasarkan keturunannya. Tionghoa totok merupaka sebutan bagi orang tiong hoa yang lahir di Tiongkok dan Tionghoa peranakan yaitu orang Tionghoa yang terlahir di Nusantara, meskipun kedua orang tuanya orang Tionghoa asli. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, untuk Tionghoa peranakan mempunyai kecenaderungan yang sangat kecil untuk berorientrasi pada Tiongkok. Bahkan bahasa yang mereka gunakan sehari-hari sebagian besar adalah bahasa orang pribumi ataupun bahasa Nusantara. Selain itu, kebanyakan dari mereka mengakulturasikan budaya merek dengan budaya bribumi. Namun hal lain terjadi di luar pulau jawa. Di kalimantan barat dan sumatera, kebudayaan pribumi sangat kecil mempengaruhi orang-orang Tionghoa.
Lebih penting lagi, dipercepatnya imigrasi orang tiong hoa dari akhir abad ke-19 telah menciptakan suatu keadaan sampai 1930 dan juga dirangkaikan dengan beberapa perkembangan baru pada awal abad ke-20 telah menghambat laju akulturasi secara lebih lanjut dari penduduk Tionghoa. Hal tersebut semakin menguatkan rasa nasionalisme mereka sebagai warga keturunan Tiongkok. Kejadian ini menjalar sampai pada Tionghoa peranakan, mereka semakin merasa bangga dengan rasa ketionghoaannya.
Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diNusantarakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Nusantara, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di indonesia. Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di indonesia, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya sendiri (Charles A. Coppel, 1994: 31-34). Dengan begitu, kedatangan orang-orang Tionghoa di Indonesai melalui proses yang sangat panjang dan berliku.
(edy arif tirtana dan muhammad syafi'i)

Tidak ada komentar: