Rss Feed
Rss Feed

Senin, 09 April 2012

ANAK DUKUN


Dari celah-celah pintu kayu yang tertutup, mataku menelusup kabut asap dalam ruang yang tak begitu terang itu. Aroma dupa menyebar berangkai semerbak bunga menusuk panggkal hidung. Sedang lelaki tua itu tetap bersila terpejam merapal mantra yang entah apa maknanya. “Pesanan siapa lagi ini.” Bisikku dalam hati.
Sangporo sampun rabi inggih sampun. inggih nikah. Nabi olah. Dungkul lelaku branggah suminggah.” Mantra-mantra terus mengalir dari komat-kamit mulut bapak. Sementara peka hidung menghantar perintah agar aku segera menyingkir dari balik pintu kamar dan tanggalkan seluruh hasrat penasaranku tentang apa yang terjadi dalam kamar papan itu.
“Pak, mengapa kau pilih jalan ini.” Ku hela nafas panjang beriring langkah menuju teras depan. “Zaman dulu dukun memang sangat dipercayai, Tapi tidak untuk zaman ini. Ini sudah zaman modern. Mereka tidak lagi memerlukan doa dan rapalan mantra yang tidak masuk akal, namun lebih percaya pada resep dokter berharga mahal.” Teringat saat Yoyok, teman masa kecilku demam tinggi dibawa pak Zarkoni kerumah ini. Langsung sembuh setelah minum air hasil rapalan mantra dari bapak. Tak ada motif bisnis dalam peristiwa itu. melainkan rasa kemanusiaan.
Keluarga pak Zarkoni, mak Gimah, mak Turipah, pak Awi dan keluarga-kelaurga pribumi lain telah digusur dan diusir pergi dari tempat ini. Dengan berbagai macam alasan. Mulai dari persoalan sertifikat tanah, kalah bertarung di pengadilan, sampai memang sengaja dijual atas dasar tawaran harga tinggi dari pemilik modal. Yang jelas, kawasan ini drastis berubah seiring hilangnya penghuni asli. Berbeda dengan keadaan rumahku yang tetap kokoh bercokol disini. Entah apa alasan bapakku untuk tetap betah tinggal dilingkungan yang semakin tak nyaman ini.
Bangunan beton yang menjulang itu perlahan mengubur kenangan-kenangan masa kecilku dulu. Di sebelah kanan rumahku dahulu adalah rumah pak de Kamdala, diteruskan rumah pak syukri dan u de lekijah. Sedang disisi kiri rumahku adalah tanah milik mbah rakiman yang ditanami ketela pohon, sangat luas. Kemudian diujung sana ada rumahnya kang sukardi dan bokhori. Rumah-rumah tua itu sekarang tak ada lagi. Sudah diganti dengan pagar beton tinggi batas wilayah perumahan. Tiada pandang luas lagi dari rumahku, semua sisi tertutup tembok-tembok tinggi kecuali depan rumahku yang sedari dulu memang menjadi jalur transportasi.
Tak ada lagi Roni, Yoyok, Samiono, Puji, Hanum, Erma, Dayah, dan Eny ramai dolanan di pekarangan ini. Ah, aku kangen dengan nyanyian dolanan ini. “Dok tri legentri nogo sari ri. Riwul awul awul dodo mentul tul. Tulen ulen ulen podo manten ten. Titenono mbokmu lungo tuku opo po. Po deng mbako enak mbako sedeng deng. Dengkok engkak engkok koyo kodok.” Ku alunkan nyanyian itu berkali-kali lirih. Lalu kepalaku tersandar nyaman membawaku larut dalam kenangan. Kurasakan teman-temanku itu hadir.
“Ojo ngelamun wae Nduk.” Sentuhan bapakku membawaku kembali ke dunia nyata. Aku terkaget. “Bapak, mengagetkan saja.” Aku pun menoleh sambil memegangi tangan bapak yang sekarang berada di pundakku. “Daripada ngelamun, mending bapak di sedukan kopi gih.” Perintah bapak sambil berjalan menuju kursi. “Siap bapakku sayang.” Akupun bergegas menuju dapur.
Semenjak ibu meninggal empat tahun yang lalu, kami hidup hanya berdua. Hanya ada aku dan bapak di rumah ini - Kuthy, kucing telon pemberian buyut Srimah tidak aku sebutkan meski ia juga termasuk penghuni rumah ini -. Akulah yang memasak dan menyedukan kopi untuk bapak, meski kadang-kadang bapak juga menyedu dan memasak nasi sendiri. Bapakku, sosok yang kusayang, berwibawa dan tidak banyak omongan.  
Ku bawa satu gelas besar kopi hangat menuju bapak. “Terimakasih nduk.” Ucap bapakku setelah menerima segelas kopi buatanku. “Hemm… manis seperti yang buat.” “Ah, bapak ada-ada saja.” Aku tersenyum malu.
“Duduk sini disamping bapak.” Pandangan teduh itu terarah padaku. “Bagaimana sekolahmu nduk? Sekarang kamu sudah kelas tiga SMA kan. Usiamu sekaran sudah delapan belas tahun nduk. Berarti kamu harus bisa membedakan mana yang tepat dan mana yang tidak tepat untukmu.” “Tapi tetap dalam bimbingan bapak.” Ucapku sambil meraih jemari bapak. “Bapak sudah tua, kamu harus sudah siap jika nanti bapak pergi menyusul Ibumu.” “Laras ingin bersama bapak. Selamanya.” Aku menciumi keriput kulit tangan bapak. Lalu tangan bapak mengelus-elus rambut panjangku. “Laras anakku, ketahuilah bahwa takdir tak bisa ditawar. Kitalah yang harus bisa mengolah dan mempersiapkan diri. Itulah alasan Gusti Allah memberi kita akal, pikiran, dan hati.”  
Kehangatan itu diakhiri oleh suara adzan magrib dari masjid jauh di seberang sana. Itulah kali pertama bapak bertanya perihal bagaiman sekolahku.
    
### 

Ada yang berbeda pada upacara bendera kali ini. Ada tambaham satu protokoler, yaitu sambutan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota. Sambutan dibuka dengan sebagaimana pejabat pada umumnya, “saya sebagai Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota merasa bangga atas raihan juara olimpiade biologi yang diperoleh siswa dari sekolah ini. Dan untuk menunjukkan rasa penghargaan itu, saya akan memberikan hadiah tambahan pada siswa juara dan memberikan bantuan dana pada sekolah untuk lebih memacu prestasi sekolah ini. Saya yakin akan kualitas sekolah ini. Maka anak saya mulai hari ini akan belajar disekolah ini.”
“Lama banget sambutannya za Ras. Mbosenin.” “He em Zul. Ditambah matahari semakin terik. Memancing emosi.” Tambahku. “Mau anaknya disekolahin disini apa di Jerman, tidak urusan kami lagi pak.” Timpal Puput yang ada di belakangku. “Tapi kalau cakep, boleh juga dink.” Lanjutnya. “Dasar Puput.” Bisikku dalam hati.
Lima belas menit kemudian upacara benderapun usai. Semua siswa bertebaran di tengah lapangan menuju kelas masing-masing. Mungkin pemandangan ini indah kalu dilihat dari atas helicopter.
Dalam kelas, suasana lebih adem ketimbang di tengah lapangan. Semua siswa asyik bercakap-cakap sebelum guru datang mengajar. “Selamat pagi anak-anak.” Suara itu menghentikan percakapan kami. “Selamat pagi Bu Dina.” Suara kami serentak.  “Kali ini ibu membawakan teman baru untuk kalian. Mulai hari ini, Bagaskoro akan belajar di kelas ini bersama kalian.” “Bagas, sini masuk.” Lalu nampaklah cowok cakep melangkah perlahan menuju Bu Dina. “Kamu duduk di samping Zuli.” Perintah bu Dina. Cowok itu pun berjalan pelan menuju bangku sisi kanan nomor tiga dari belakang.
“Bagas adalah anak dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota. Jadi kita harus mempergaulinya dengan baik.” Ucap bu Dina. Aku dan Popi teman sebangkuku pun menengok kearah bagas. Cukup lama, “Cakep banget kau Bagas.” Bisikku dalam hati. “Raras, Popi, menghadap ke depan. Pelajaran akan ibu mulai.” Kami pun memperhatikan pelajaran biologi yang disampaikan bu Dina.  
Tak bisa konsentrasi itulah yang kurasa saat ini, selalu ingin menoleh ke belakang. Ya, kearah Bagas. Lama bergelut dengan rasa itu, tak terasa pelajaranpun usai. “Pop, Bagas cakep za..” “Hayo, kamu naksir Bagas za Ras.” Balas Popi sambil mencubitiku. “Aku siap nyomblangin dech pokoknya. Dijamin sukses.” Lanjutnya. “Beneran Pop?” Kejarku. “Masih ga percaya sama aku?” Popi berlagak serius. “Ok. Ntar kalo sukses, syukuran bareng.” Ucapku. “Harus itu.” Timpal Popi.
Seminggu berlalu, hubungan kami pun makin akrab saja. Berbagai macam trik dan metode telah kami lancarkan untuk menggaet hati si cakep Bagas. “Pop, nanti setelah istirahat kedua aku akan tembak si bagas.” “Kamu kan cewek Ras. Masak nembak? Yang ada itu cowok yang nembak cewek, bukan sebaliknya.” Sahut Popi. “Sekarang sudah zamannya gender Pop. Derajat laki-laki dan perempuan itu sama. Begitu juga dalam hal menembak dan ditembak.” Ia pun tertegun. “za sudahlah, silahkan saja.” Jawabnya lirih.
Sebelum jam istirahat selesai, aku pun sudah bersiap-siap di dalam kelas. Tak sengaja kulihat selembar surat terselip di dalam tas Popi.

Kepada Popi.
“Pop, terimakasih telah member tahuku tentang siapa sebenarnya Raras. Terimakasih karena telah menyelamatkanku dari anak dukun itu. dan terimakasih sekali lagi karena kau telah terima cintaku. I love U.”
Dari Bagas.

“Apa artinya ini Pop?” ku acungkan surat tadi di depan Popi yang duduk di depanku. “Penghianat.. Penghianat kamu Pop!!!” “Memang kenap kalau aku anak dukun?!!” Mataku melotot ke arahnya. “Memang kamu anak dukun kan? Kok malah Tanya.” Popi mulai berdiri. “Yang jelas, Bagas lebih memilih aku !!!” Lanjutnya. Lalu aku pun berlari pulang.

### 

Tanpa tegur sapa bapak, sampai malam aku mengurung diri dalam kamar. Air mataku terus mengalir tak tahan dengan kelakuan kejam si Popi penghianat itu. “Dasar pagar makan tanaman. Peghianat. Aku berjanji akan membalasmu nanti.” Umpatku dalam hati.
“Raras… Raras... Ras.” Terdengar suara bapak memanggil sambil mengetuk pintu kamarku. Aku tak mampu menjawab. Lalu kemudian bapak pun masuk dan menjumpaiku yang sedang nangis merangkul guling. “Ada apa anakku?” Tanya bapak memelukku.
Aku tak berhenti menangis. “Tenangkan dulu. Ada apa anakku Raras?” Tanya bapak sekali lagi. “Popi, membohongiku. Ia pembohong. Pagar makan tanaman.” Aku terisak-isak. “Coba ceritakan dulu, bagaimana kejadiannya.” Sambung bapak bijak.
“Aku mencintai seorang pria. Tapi popi malah merebutnya. Ia mengejekku dengan sebutan anak dukun. Padahal ia berjanji akan membantuku.” “Bapak, tolong celakakan Popi agar ia tak berbuat jahat lagi dan kembalikan Bagas padaku.” Pintaku merengek. “Anakku Raras, bapakmu ini tidak bisa mencelakakan, menyembuhkan dan mengembalikan ketertarikan seseorang. Semua itu berjalan atas kuasaning Gusti Allah.” “Ingatlah Ras, sesuatu yang menurut kita baik, belum tenttu baik menurut Gusti Allah. Dan yakinlah, Gusti Allah selalu memberikan jalan terbaik pada makhluknya yang beriman dan taat.” Bapakpun meninggalkanku dalam kamar seorang diri. 

### 

Dua hari berlalu tanpa sekolah dan tanpa pelukan hangat dari Bapak, rasanya hampa hidup ini. Tiba-tiba ada dua mobil berhenti di depan rumah kami. “Assalamu alaikum Mbah.” Sapa orang itu. ia tidak sendirian. Nampaknya bersama keluarga besarnya. “Wa alaikumussalam, silahka masuk, silahkan duduk.” Bapakku menyambutnya akrap.
“Ada apa bapak Walikota sekeluarga kok datang ke gubug kami ini.” Tanya Bapak hangat. “Begini Mbah, saya bermaksud mengucapkan terimakasih atas bantuan mbah pada pemilihan Walikota kemarin yang Alkhamdulillah berkat bantuan Mbah, saya berhasil duduk di kursi Walikota. Niat yang kedua, saya ingin menjodohkan putra saya Bambang dengan putri Mbah. Bersediakah Mbah besanan dengan saya?”
“Raras.. Raras.. kesini nduk.” Aku pun bergegas melangkah ke ruang tengah. “Ini ada Bapak Wali Kota ingin menjodohkan kamu dengan putranya. Ini orangnya.” Bapak menatapku sambil menunjuk Bambang, anak Walikota itu. “Bagaimana, mau tidak?” Teringat akan kejamnya Popi. Aku pun menerima perjodoha itu. Meski tanpa rasa cinta. Akan aku perlihatkan pada Popi bahwa aku bisa mendapatkan yang lebih darinya.
Sesudah disetujuinya perjodohan itu, Bambang pun tiap hari bersedia mengantar dan menjemput aku pergi sekolah. Semua siswa termasuk Popi terperangah tak percaya. Namun dalam hati kecilku, aku tak tahu ini kemenangan ataukah kekalahan. Peristiwa ini terjadi begitu tiba-tiba.


edy arif tirtana 
(diikutkan dalam antologi cerpen "tahun-tahun penjara" joglo 13 TBJT) 


Tidak ada komentar: