Rss Feed
Rss Feed

Senin, 09 April 2012

SERAGAM DEKIL UNTUK SI UCIL


Anak itu sangat aneh, dengan muka lusuh dan kumel ia selalu duduk di tepi jalan bersama penjual jajan di depan sekolahku. Rambutnya keriting, tak dapat kubayangkan betapa sulit menyisir rambutnya itu. Pandangannya yang tajam kerap tertuju pada kami yang ramai-ramai masuk ke dalam sekolah. Aku rasa, ia juga jarang mandi pasti.
Sempat aku berpikiran jelek pada anak itu. Menurutku, ia adalah anak pemulung yang diutus oleh ibunya untuk mengintai keadaan sekitar sekolah, lalu setelah mereka tahu keadaan sekitar sekolah mereka akan mencuri di SD Kartini ini. Atau mungkin, Ia adalah anak pedagang jajan yang tua itu. Tapi mengapa Ia tidak sekolah? Padahal Ia seumuranku sekarang.
Memang sudah beberapa hari ini aku selalu melihatnya begitu. Setelah ku bicarakan dengan teman-teman, mereka juga tidak kenal dengan anak itu. Ingin aku tanyakan tentangnya pada penjual jajan, tapi tentu saja setelah pulang sekolah nanti.
Sampai saat pejalaran sejarah dimulai, barulah anggapan-anggapan negatifku pada anak aneh itu terjawab. Tak sengaja, saat aku minta ijin keluar kelas karena ngantuk banget waktu itu, aku melihatnya. Namun kali ini dengan posisi yang berbeda. Ia bersandar di tembok teras belakang, persis di samping kelasku.
Masihku amati Ia dari tepi tembok sebelah. Dengan sangat nyaman Ia mendengarkan. Sesekali ia menulis dengan pena di selembar kertas yang dari tadi ada di tangannya. “Siapa dia?” Bisikku pelan. Masih dengan posisi mengintip, kulihat ia senyum-senyum sendiri, entah apa yang lucu. Akupun semakin penasaran dengannya.
Tak perduli sudah berapa menit diluar kelas, pelan-pelan aku berjalan merunduk menuju kearahnya. “Aku sudah gila, seperti tentara saja.” Pikirku. “Ssset.” Desisku padanya. Ia pun  kaget dan  terjingkat. “Jangan takut, sedang apa kau disini?” tanyaku padanya pelan. “Jawab saja singkat, kalau bisa bantu, nanti aku bantu.” Imbuhku. “Aku suka pelajaran sejarah Indonesia, Aku juga ingin sekolah seperti kalian.” Begitu ucapnya terbata-bata. “Kenapa tak sekolah?” Aku melanjutkan. “Tak boleh sama ibuku, katanya tak punya uang untuk biaya. Ayahku pun juga entah dimana.” “O..begitu, kamu ingin sekolah beneran kan? Kalau iya, besok kamu tunggu aku di depan gerbang seperti biasa. Oke.” “Untuk apa?” “Nanti kamu tau sendiri.” Jawabku singkat sambil berjalan merunduk menuju kelas.
Besoknya, sengaja kubawa seragam putih merah dobel dari rumah dan tak ketinggalan sepatu . meskipun sudah Nampak sedikit dekil, aku yakin ia akan senang menerimanya. Dan rencanaku pun akan berjalan lancar.
 “Heh, sini.” Tangan ku melambai ke arah anak aneh itu. Ia pun menoleh dan berjalan kearahku. Ku raih tangannya dan kugelandang masuk ke WC umum depan sekolah. “Ini seragam dan sepatu, pakai lah.” Ia terlihat bingung, tapi tetap memakainya. “Namamu siapa?” tanyaku. “Ucil.” Jawabnya singkat. “Aku Davi. Tau ga’, sekolah itu tidak perlu biaya lho. Sekarang zamannya sekolah geratis menggunakan akal.  Hanya perlu seragam untuk bias sekolah.” Kataku meyakinkannya. “Masak begitu.” Selanjutnya kugandeng ia masuk kelas, dan duduk di bangku urutan nomer dua dari belakang bersamaku.
Seluruh teman memandangi Ucil, Nampak jelas, mereka penasaran. “Teman-teman, aku sudah tahu, kalian pasti penasarankan dengan anak ini. Ini teman baruku, namanya Ucil. Ia sangat suka pelajaran sejarah. Tapi sayang, tidak punya biaya unutk sekolah seperti kita. Maka, ia aku beri seragam agar bias masuk sekolah. Bagaimana teman-teman, boleh kan?” Tanyaku keras. “Boleh.” Mereka menjawab serentak. Mungkin itu karena aku ketua kelas disiitu.
Sebentar menunggu, akhirnya pak Romdon guru sejarah itu masuk juga. “Selamat pagi anak-anak. Mari kita lanjutkan pelajaran kemarin.” Seperti biasa, beliaupun bercerita tentang sejarah Indonesia kepada kami sampai 45 menit selesai. “Iya kan, sekolah itu tidak perlu biaya, hanya perlu seragam.” “Iya.” “Ha..ha..ha..” kami pun tertawa bersama.
 edy arif tirtana

    

Tidak ada komentar: