Rss Feed
Rss Feed

Rabu, 13 Februari 2013

TES KEJUJURAN BUAT RARA DAN RIRI


        Pagi yang indah. Udara bertiup perlahan, sangat sejuk. Kicau bermacam burung saling sahut di depan rumah keluarga Rustam. Benar, tiap burung yang dipelihara pak Rustam selalu bangun lebih pagi daripada penghuni rumah megah itu.

Bu Rustam duduk di depan meja rias sambil memegangi kepalanya. “Dimana aku menaruh uang seratus ribuanku tadi?” Istri pak Rustam itu bertanya-tanya. Rupanya ia kehilangan uang seratus ribuan.
“Seingatku, uang itu aku taruh di atas meja ini. Kok sekarang tidak ada ya?” Ibu dari si kembar Rara dan Riri itu semakin penasaran. Bu Rustam mendongakkan kepalanya, melihat jam. Ternyata sudah pukul 06.30 pagi.

Pak Rustam dan kedua anaknya, si kembar Rara dan Riri sudah menunggu di meja makan.

“Ada apa bu, kok tidak turun-turun? Kami kan sudah menunggu dari tadi.” Tanya Rara setelah bu Rustam duduk. Rumah keluarga itu memang berlantai dua.

“Ada apa bu?” tambah pak Rustam.
“Tadi aku kebingungan mencari uang yang ibu taruh di meja pak. Seingat ibu, uang itu masih terletak di atas meja sebelum ibu ke kamar mandi. Tapi setelah ibu masuk kamar lagi tiba-tiba sudah tidak ada.” Ekspresi tegang terlihat pada wajah Rara dan Riri.

“Iya, kira-kira siapa ya bu yang mengambil.” Sambung mereka.
“Sudahlah, nanti dicari lagi. Yang penting, kita makan dulu, dan Rara serta Riri pergi sekolah. Ayo kita makan.” Pak Rustam mencairkan suasana. Merekapun makan dengan lahap nasi goreng dan telur serta susu yang telah disiapkan sejak tadi.
Rara dan Riri duduk di kelas yang sama, sekolah yang sama dan satu meja yang sama pula. Mereka benar-benar si kembar yang kompak. Mereka sangat disayangi oleh orang tua mereka. Itu mungkin karena mereka adalah anak dua-duanya dari pasangan yang lama tidak mempunyai anak.

Ada yang unik dari keluarga ini, tidak seperti keluarga biasanya. Pak Rustam disini berperan sebagai ibu rumah tangga –meskipun ia bapak, tapi mengerjakan pekerjaan ibu- pak Rustam berada di rumah, memasak, membersihkan rumah dll. Sedang bu Rustam bekerja di kantor sebuah bank swasta. Namun keluarga itu adalah keluarga yang seimbang dan harmonis. Sangat bahagia.
###
“Kamu kan pasti yang mengambil.” Tuduh Rara pada Riri.
“Tidak, malahan kamu yang datang ke mejamakan lebih lambat dari pada aku. Jangan-jangan, kamu yang mengambil.” Riri menuduh balik Rara.
“Kamu.” Tuduh Rara kembali.
“Kamu.” Balas Riri.
“Kamu!!!”
“Kamu!!!”
“Kamu!!!” 

“Rara…Riri! Bisa kalian tidak gaduh.” Suara keras dari pak Davi menghentikan aksi saling tuduh antara Rara dan Riri. Pak Davi adalah guru bahasa Indonesia di kelas itu.

Jam dua siang, mereka sudah sampai di rumah diantar dengan mobil sekolah. Iya, sekolah mereka menyediakan mobil antar jemput.
“Assalamu’alaikum.” Teriak mereka serentak.
“Wa’alikum salam.” Pintu pun terbuka. Pak Rustam pun menyambut mereka dengan penuh kehangatan.
“Makan, terus istirahat siang ya.” Pak Rustam mengelus kepala mereka berdua.
“Siap pak.” Mereka menjawab serentak.
“Kamu kan pasti yang ngambil uangnya ibu.”
“Kok, aku. Kamu itu yang ngambil.” Aksi saling tuduh itu terbawa sampai rumah.
“Lho, kok malah saling menuduh. Kalian tidak boleh menuduh tanpa ada bukti. Bisa saja uang ibu mu itu jatuh. Tidak boleh berprasangka buruk ya. Tidak baik.” Pak Rustam memberi nasehat pada mereka.
Rara dan Riri pun melanjutkan makan. Setelah itu mereka tidur siang.
###
Sore hari sepulang dari kantor, bu Rustam bercakap-cakap santai dengan pak Rustam di teras belakang. Rupanya, bu Rustam masih penasaran tentang uang seratus ribunya yang hilang.
“Kira-kira siapa ya pak yang mengambil?” Tanya bu Rustam.
“Ya tidak tahu, di rumah ini kan cuman ada kita berempat. Mungkin saja jatuh.” Pak Rustam menjawab.
“Sudah aku cari dimana-mana lho pak. Tetap tidak ada. Apa mungkin Rara atau Riri ya?”
“Jangan menuduh sembarangan bu.” Pak Rustam mengingatkan.
“Tapi tidak salahkan jika kita melakukan tes kejujuran pada mereka berdua.”
“ Tapi bukan karena ibu menuduh mereka yang mencuri kan?” pak Rustam meyakinkan.
“Begini caranya pak, aku akan taruh uang 300.000 ribu di atas meja rias. Seterusnya aku menyuruh Rara dan Riri secara bergantian untuk mengambilkan sepatu ibu yang ada di kolong tempat tidur. Kalau uang tiga ratus ribu itu hilang, berarti kita perlu perbaiki didikan kita pada Rara dan Riri. Apa bila uang itu tidak hilang, berarti Alhamdulillah, anak-anak kita masih dipelihara dari perbuatan yang tidak baik.”
“Baik lah, aku setuju bu.” Jawab pak Rustam.
Jam lima sore, tes kejujuran pun dilaksanakan. Setelah mereka lama bercengkrama di ruang tengah, bu Rustam pun menyuruh Rara untuk mengambilkan sepatu yang ada di kolong tempat tidurnya. Rara bergegas ke kamar bu Rustam untuk melaksanakan perintah itu.

Rara membuka pintu kamar itu perlahan. Mengedarkan pandangan ke kolong meja. Ia pun ambil sepasang sepatu dari banyak sepatu yang terjajar di kolong tempat tidur ibu. Rara pun segera membalikan badan. Ia lihat tiga lembar uang seratus ribuan dan menghentikan langkah sejenak.

“Ah, aku hanya disuruh ibu mengambil sepatu, bukan yang lain.” Kata Rara dalam hati. Ia pun berlari memberikan sepatu itu pada ibu.

“Ini ibu sepatunya.” “Terimakasih Rara, kamu memang anak berbakti.” Rara pun tersenyum.

Setelah itu, pak Rustam mengecek ke kamarnya, apakah 300.000 itu masih atau tidak. Dan ternyata, uang itu sama sekali tak beralih dari tempat semula. Seterusnya, pak Rustam kembali ke ruang tengah menyusul ibu, Rara dan Riri.

“Kok sepertinya sepatu ini warnanya tidak pas ya.” Kata ibu setelah coba memakainya.
“Tolong Riri, ambilkan sepatu lagi yang berwarna coklat di kolong tempat tidur ibu.”
“Baik ibu.” Jawab Riri. Ia pun bergegas menuju kamar ibu.

Setelah membuka kamar, ia langsung melihat uang 300.000 di atas meja rias. “Ibu kok menaruh uang sembarangan ya.” Pikirnya. Ia mengambilnya dan menaruh dalam saku baju. Riri melangkah, membungkukkan badan menuju kolong tempat tidur. Ia cari sepatu ibu yang berwarna coklat. Tiba-tiba Riri terkejut, ada selembar uang seratus ribuan di dalam sepatu itu.
“Ibu…ibu…” Riri berteriak-teriak keras sambil berlari menuju ruang tengah.
“Ada apa Riri.”
“Ibu, aku menemukan uang ibu yang hilang, ternyata ada di dalam sepatu coklat ini.” Ia pun memberikan uang seratus dan tiga ratus ribuan  itu pada ibu.
“Ibu kalau menaruh uang jangan sembarangan dong, nanti kalau hilang lagi bagaimana.” Riri meneruskan.
Bu Rustam pun terkejut. “Nah, terjawabkan sekarang. Uang seratus ribuan itu terjatuh, bukan hilang. ” Sahut pak Rustam.
“Alhamdulillah. Anak-anakku, kalian masih terlindung dari perbuatan yang tidak baik.” Bu Rustam pun memeluk mereka berdua penuh kasih sayang.

“Ini juga pelajaran buat Ibu, kalau menyimpan uang ditaruh ditempat yang benar. Dan pelajaran untuk kita semua, jangan gampang menuduh atau berprasangka buruk pada siapapun tanpa bukti. Apalagi menuduh.” Terang pak Rustam.

edy arif tirtana

Tidak ada komentar: