3 puisi edy arif tirtana
GUYONAN
aku ingin berbagi wilayah saja denganmu
kau adalah kau dan aku adalah aku
syurga dan neraka itu wilayahmu
dosa dan pahala itu wilayahmu
rizki dan masa depan itu wilayahmu
dan selain pengabdian, semua wilayahmu
itupun kalau kau mau
aku tahu kau takkan bocorkan masa depan padaku
sebab memang padamu tak ada masa depan
lalu kau hanya beritakan padaku tentang pengabdian, hanya pengabdian yang sekarang mulai terpasung segala macam kepentingan tentang masa depan
aku ingin menyebutmu keindahan saja
bagai deru ombak, selalu dirindu
meski taksama sekali pernah berhenti
mungkin suara-suara itu terlalu nyaring hingga diri ini terasing
tapi bukan
keindahan bukan ada pada mereka
melainkan tertanam dalam tiap jiwa kita adanya
haha..ha…ha…
aku ingin juga larut dalam guyonan ini
tiap tulis, tindak, gerak. maafkanlah....
Ngaliyan, 15 Januari 2010
TASBIH EMBUN
jajar bambu begitu binar menyapa
bercakap dengan udara setitik embun tersisa dialisnya
pantul cahaya kesetiap insan
selanjutnya hanyutlah; kefanaan
sampai burung-burung hinggap lengkung pesona
bernyanyi entah nada apa
tapi jelas indah sekali
sementara lainnya berputar-putar
menari di atas kriet-kriet nada bambu
yang disitu kaum mereka bernyanyi merdu
sebegitu hinggap; bening
entah stereo apa yang dipasang alam ini
perlahan embun bergeluyur kebumi; teduh bumi
kemudian satu persatu berpamitan
bernyanyi lagu-lagu salam;
salam alam salam bumi
salam langit salam mentari
salam udara, salam air, salam waktu
salam manusia yang bertasbih melihatku bertasbih
Ngaliyan, 3 Desember 2011
MENCARI MAHA SULUH
bagaimana padamu ku kembali jika hati ini masih bertumbal menggelayut diatap pintunya. berjubal bringas. dalam gamang mengikat partikel pantul cahaya. samasekali gelap tanpa suluh. bermacam tumbal persembahan otak penuh angka dan perhitungan membawa terbang dan selanjutnya mendobrak pintu langit, berteriakteriak lantang di atas sana. coba mengkoyak scenario tali paksa bertahan. terbataspun aku limbung tak tahan.
“carilah dunia selain duniaku, nasib selain nasibku, scenario selain skenarioku, waktu selain waktuku, masa selain masaku, harmoni selain harmoniku, rizki selain rizkiku, carilah yang semua bukan dariku.”
gelap, hingga suluh-suluh itu memancar dari senyum pengemis dan bayi digendongnya, dari masing-masing ibu yang menetek anaknya, dari masing-masing bapak yang mengelap keringatnya. mereka menggumpal, membentuk benteng suluh semesta. selanjutnya, dengan suluh-suluh lainnya bersatu menuju maha suluh sebenarnya.
Apakah kita percikan dari maha suluh itu jua? atau sudahkah?
Ngaliyan, 22 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar