Pagi yang
indah. Udara bertiup perlahan, sangat sejuk. Kicau bermacam burung saling sahut
di depan rumah keluarga Rustam. Benar, tiap burung yang dipelihara pak Rustam selalu
bangun lebih pagi daripada penghuni rumah megah itu.
Bu Rustam duduk
di depan meja rias sambil memegangi kepalanya. “Dimana aku menaruh uang seratus
ribuanku tadi?” Istri pak Rustam itu bertanya-tanya. Rupanya ia kehilangan uang
seratus ribuan.
“Seingatku, uang
itu aku taruh di atas meja ini. Kok sekarang tidak ada ya?” Ibu dari si kembar Rara
dan Riri itu semakin penasaran. Bu Rustam mendongakkan kepalanya, melihat jam. Ternyata
sudah pukul 06.30 pagi.
Pak Rustam
dan kedua anaknya, si kembar Rara dan Riri sudah menunggu di meja makan.
“Ada apa bu,
kok tidak turun-turun? Kami kan sudah menunggu dari tadi.” Tanya Rara setelah
bu Rustam duduk. Rumah keluarga itu memang berlantai dua.
“Ada apa bu?”
tambah pak Rustam.
“Tadi aku
kebingungan mencari uang yang ibu taruh di meja pak. Seingat ibu, uang itu
masih terletak di atas meja sebelum ibu ke kamar mandi. Tapi setelah ibu masuk
kamar lagi tiba-tiba sudah tidak ada.” Ekspresi tegang terlihat pada wajah Rara
dan Riri.
“Iya,
kira-kira siapa ya bu yang mengambil.” Sambung mereka.
“Sudahlah,
nanti dicari lagi. Yang penting, kita makan dulu, dan Rara serta Riri pergi
sekolah. Ayo kita makan.” Pak Rustam mencairkan suasana. Merekapun makan dengan
lahap nasi goreng dan telur serta susu yang telah disiapkan sejak tadi.
Rara dan Riri
duduk di kelas yang sama, sekolah yang sama dan satu meja yang sama pula.
Mereka benar-benar si kembar yang kompak. Mereka sangat disayangi oleh orang
tua mereka. Itu mungkin karena mereka adalah anak dua-duanya dari pasangan yang
lama tidak mempunyai anak.
Ada yang unik
dari keluarga ini, tidak seperti keluarga biasanya. Pak Rustam disini berperan
sebagai ibu rumah tangga –meskipun ia bapak, tapi mengerjakan pekerjaan ibu-
pak Rustam berada di rumah, memasak, membersihkan rumah dll. Sedang bu Rustam
bekerja di kantor sebuah bank swasta. Namun keluarga itu adalah keluarga yang
seimbang dan harmonis. Sangat bahagia.
###
“Kamu kan
pasti yang mengambil.” Tuduh Rara pada Riri.
“Tidak,
malahan kamu yang datang ke mejamakan lebih lambat dari pada aku. Jangan-jangan,
kamu yang mengambil.” Riri menuduh balik Rara.
“Kamu.” Tuduh
Rara kembali.
“Kamu.” Balas
Riri.
“Kamu!!!”
“Kamu!!!”
“Kamu!!!”
“Rara…Riri!
Bisa kalian tidak gaduh.” Suara keras dari pak Davi menghentikan aksi saling
tuduh antara Rara dan Riri. Pak Davi adalah guru bahasa Indonesia di kelas itu.
Jam dua
siang, mereka sudah sampai di rumah diantar dengan mobil sekolah. Iya, sekolah
mereka menyediakan mobil antar jemput.
“Assalamu’alaikum.”
Teriak mereka serentak.
“Wa’alikum salam.”
Pintu pun terbuka. Pak Rustam pun menyambut mereka dengan penuh kehangatan.
“Makan, terus
istirahat siang ya.” Pak Rustam mengelus kepala mereka berdua.
“Siap pak.” Mereka
menjawab serentak.
“Kamu kan
pasti yang ngambil uangnya ibu.”
“Kok, aku. Kamu
itu yang ngambil.” Aksi saling tuduh itu terbawa sampai rumah.
“Lho, kok
malah saling menuduh. Kalian tidak boleh menuduh tanpa ada bukti. Bisa saja
uang ibu mu itu jatuh. Tidak boleh berprasangka buruk ya. Tidak baik.” Pak Rustam
memberi nasehat pada mereka.
Rara dan Riri
pun melanjutkan makan. Setelah itu mereka tidur siang.
###
Sore hari
sepulang dari kantor, bu Rustam bercakap-cakap santai dengan pak Rustam di
teras belakang. Rupanya, bu Rustam masih penasaran tentang uang seratus ribunya
yang hilang.
“Kira-kira
siapa ya pak yang mengambil?” Tanya bu Rustam.
“Ya tidak
tahu, di rumah ini kan cuman ada kita berempat. Mungkin saja jatuh.” Pak Rustam
menjawab.
“Sudah aku
cari dimana-mana lho pak. Tetap tidak ada. Apa mungkin Rara atau Riri ya?”
“Jangan menuduh
sembarangan bu.” Pak Rustam mengingatkan.
“Tapi tidak
salahkan jika kita melakukan tes kejujuran pada mereka berdua.”
“ Tapi bukan
karena ibu menuduh mereka yang mencuri kan?” pak Rustam meyakinkan.
“Begini caranya
pak, aku akan taruh uang 300.000 ribu di atas meja rias. Seterusnya aku
menyuruh Rara dan Riri secara bergantian untuk mengambilkan sepatu ibu yang ada
di kolong tempat tidur. Kalau uang tiga ratus ribu itu hilang, berarti kita
perlu perbaiki didikan kita pada Rara dan Riri. Apa bila uang itu tidak hilang,
berarti Alhamdulillah, anak-anak kita masih dipelihara dari perbuatan yang
tidak baik.”
“Baik lah,
aku setuju bu.” Jawab pak Rustam.
Jam lima
sore, tes kejujuran pun dilaksanakan. Setelah mereka lama bercengkrama di ruang
tengah, bu Rustam pun menyuruh Rara untuk mengambilkan sepatu yang ada di
kolong tempat tidurnya. Rara bergegas ke kamar bu Rustam untuk melaksanakan
perintah itu.
Rara membuka
pintu kamar itu perlahan. Mengedarkan pandangan ke kolong meja. Ia pun ambil
sepasang sepatu dari banyak sepatu yang terjajar di kolong tempat tidur ibu. Rara
pun segera membalikan badan. Ia lihat tiga lembar uang seratus ribuan dan
menghentikan langkah sejenak.
“Ah, aku
hanya disuruh ibu mengambil sepatu, bukan yang lain.” Kata Rara dalam hati. Ia
pun berlari memberikan sepatu itu pada ibu.
“Ini ibu sepatunya.”
“Terimakasih Rara, kamu memang anak berbakti.” Rara pun tersenyum.
Setelah itu,
pak Rustam mengecek ke kamarnya, apakah 300.000 itu masih atau tidak. Dan
ternyata, uang itu sama sekali tak beralih dari tempat semula. Seterusnya, pak Rustam
kembali ke ruang tengah menyusul ibu, Rara dan Riri.
“Kok sepertinya
sepatu ini warnanya tidak pas ya.” Kata ibu setelah coba memakainya.
“Tolong Riri,
ambilkan sepatu lagi yang berwarna coklat di kolong tempat tidur ibu.”
“Baik ibu.”
Jawab Riri. Ia pun bergegas menuju kamar ibu.
Setelah
membuka kamar, ia langsung melihat uang 300.000 di atas meja rias. “Ibu kok
menaruh uang sembarangan ya.” Pikirnya. Ia mengambilnya dan menaruh dalam saku
baju. Riri melangkah, membungkukkan badan menuju kolong tempat tidur. Ia cari
sepatu ibu yang berwarna coklat. Tiba-tiba Riri terkejut, ada selembar uang
seratus ribuan di dalam sepatu itu.
“Ibu…ibu…” Riri
berteriak-teriak keras sambil berlari menuju ruang tengah.
“Ada apa Riri.”
“Ibu, aku
menemukan uang ibu yang hilang, ternyata ada di dalam sepatu coklat ini.” Ia
pun memberikan uang seratus dan tiga ratus ribuan itu pada ibu.
“Ibu kalau
menaruh uang jangan sembarangan dong, nanti kalau hilang lagi bagaimana.” Riri
meneruskan.
Bu Rustam pun
terkejut. “Nah, terjawabkan sekarang. Uang seratus ribuan itu terjatuh, bukan
hilang. ” Sahut pak Rustam.
“Alhamdulillah.
Anak-anakku, kalian masih terlindung dari perbuatan yang tidak baik.” Bu Rustam
pun memeluk mereka berdua penuh kasih sayang.
“Ini juga
pelajaran buat Ibu, kalau menyimpan uang ditaruh ditempat yang benar. Dan pelajaran
untuk kita semua, jangan gampang menuduh atau berprasangka buruk pada siapapun
tanpa bukti. Apalagi menuduh.” Terang pak Rustam.
edy arif tirtana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar