Mereka
berlari menuju arah sawah. Mereka menyeberangi sungai lalu menyusuri pematang
sawah. Belalang-belalang kecil beterbangan dari rerumputan yang mereka lewati.
Kini kaki-kaki kecil mereka telah berlumur lumpur. Mereka mencebur ke sawah.
Mereka asyik mencari keong.
MIMPI-MIMPI PELANGI
“Pernahkah kalian melihat pelangi?” Tanya
bu Erviana. Se isi kelas terdiam. mereka saling tengok antar teman sebangku.
“Hayo, sudah pernah apa belum?” Guru muda
itu coba bergurau. “Sungguh beruntung orang yang pernah melihat pelangi.
Warnanya indah sekali. Siapa yang ingin melihat pelangi?” tanya bu Erviana
penuh semangat.
“Saya, saya, saya bu.” Ternyata semua murid
ingin sekali melihat pelangi. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan jari.
“Nah, ibu akan menjelaskan singkat tentang
pelangi.” Semua murid seketika diam. Mereka bersiap mendengarkan penjelasan bu
Erviana tentang pelangi.
“Kalian perlu tahu, pelangi terjadi karena
ada sinar matahari yang dibiaskan oleh titik-titik air hujan yang masih
tersimpan di langit. Sebenarnya matahari memancarkan banyak sekali jenis warna
lho. Namun sayang, yang bisa kita lihat hanya warna merah, kuning, hijau, biru,
nila dan ungu. Setelah warna-warna itu dibiaskan, maka timbullah pelangi.”
Semua murid nampak tertarik dengan penjelasan guru yang cantik itu.
Sayang sekali, penjelasan bu Erviana yang
sangat menarik itu harus terputus oleh bunyi bel tanda pulang. Murid-murid
nampak kecewa karena mereka masih penasaran dengan pelangi.
Murid-murid dari kelas lain mulai
berhamburan keluar. Mereka berlari-lari ramai sekali. Di luar gerbang, mobil
jemputan sudah menunggu. Anak-anak itu saling berebut tempat duduk dalam mobil.
Riuh dan riang. Mereka nampak asyik saling bercerita dan bersenda gurau di
dalam mobil jemputan.
Terlihat tiga anak berlari kencang dari
ruang kelas tiga. Mereka adalah Hanum, Pelangi dan Indri. Tiga anak itu
bersahabat sejak kelas dua SD. Sejak ayah Hanum di pindah tugaskan ke SMA
Negeri 03 sebagai guru Biologi.
Sesampai di depan pintu mobil, mereka tak
bergegas masuk. Nafas mereka ngos-ngosan. “Ayo cepat masuk anak-anak. Orang tua
kalian pasti sudah menunggu di rumah.” Teriak pak sopir yang sudah siap di
depan kemudi.
“Iya pak, kami menghela nafas dulu.” Jawab
Langi sambil mengelap keringat di dahinya. Tak lama kemudian ketiganya sudah
duduk di jok paling belakang.
###
Rumah Hanum, Langi dan Indri saling
berdekatan. Mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Mereka juga
kerap belajar bersama. Saat belajar, mereka lebih sering di rumah Hanum. Itu
karena Ayah Hanum adalah guru SMA. Setiap ada kesulitan tentang pelajaran, ayah
Hanum pasti membantu.
Memasuki kawasan perumahan, mobil jemputan
itu berjalan pelan. Satu persatu mereka turun di depan rumah masing-masing.
Setiap pintu mobil terbuka, sudah ada seorang ibu yang menyambut. Kadang juga seorang
ayah. Terpancar kebahagiaan di wajah mereka saat itu.
Tinggal mereka bertiga dan pak sopir di
dalam mobil. “Nanti kami turun di depan Rumah Hanum saja pak.” Ucap Langi.
“Kenapa di depan rumahku?” Tanya Hanum.
“Iya, kenapa?” Tambah Indri.
“Kalau nanti aku turun di depan rumahku
pasti tak ada yang menyambut ketika aku turun. Kalau di rumah Hanum kan pasti
ada yang menyambut. Menyenangkan.” Langi tertawa.
Benar, mereka turun di depan rumah Hanum.
Seorang ibu berkerudung coklat sudah berdiri menunggu penuh kasih sayang.
Mereka bertiga turun dari mobil. “Aku pulang dulu Han.” Ucap Langi setelah
mencium tangan ibu Hanum.
“Iya, nanti setelah makan siang aku ke
rumahmu ya.” Hanum menawarkan.
“Boleh.” Jawab Langi singkat.
“Aku juga ikut.” Imbuh Indri.
“Oke.” Ucap Langi sambil menunjukkan jempol
tanda setuju.
Siang itu mereka berkumpul di rumah Langi.
Hanya mereka bertiga, karana ayah dan ibu Pelangi pasti belum pulang dari
kerja. Orangtua Langi bekerja sebagai buruh di pabrik plastik.
“Sekarang mendingan kita bermain ke sawah
saja. Mencari keong. Pasti asyik.” Langi menunjuk kearah sawah tak jauh dari
komplek perumahan. Baru seminggu sawah itu dipanen. Biasanya, beberapa hari
setelah dipanen, keong banyak bermunculan di tepi-tepi parit atau sembunyi
dalam lumpur sawah.
Mereka berlari menuju arah sawah. Mereka
menyeberangi sungai lalu menyusuri pematang sawah. Belalang-belalang kecil
beterbangan dari rerumputan yang mereka lewati. Kini kaki-kaki kecil mereka
telah berlumur lumpur. Mereka mencebur ke sawah. Mereka asyik mencari keong.
Sayang, langit saat itu perlahan gelap.
Bukan karena sore, namun karena mendung. Nampaknya akan terjadi hujan. “Langi,
kamu merasakan gerimis turun?” Tanya Indri. Suara gemuruh air hujan mulai
terdengar jelas dari arah barat.
“Sebaiknya kita cepat cari tempat
berteduh.” Ucap Hanum.
“Ayo kita berteduh di gubuk itu. Lari !!!”
Teriak Langi sambil berlari menuju gubuk Mbah Mustaqim.
“Untung kita sudah berteduh.” Mereka bertiga
saling berhimpit menghangatkan. Memang saat itu sangat dingin. Hujan turun
lebat sekali.
“Aku kadang iri dengan mu Han. Setiap
pulang sekolah pasti ada yang menyambut di depan rumah. Seandainya ibuku bisa
bekerja di rumah, pasti ibu bisa menyambutku setiap hari.”
“Bicara apa kamu Langi?” Hanum menanggapi.
“Andai saja aku punya uang banyak, pasti
ibu sudah aku buatkan kios di rumah.”
“Ah, kamu jangan iri Langi. Enakan kamu
bisa bebas bermain apa saja. Ibumu tidak pernah memarahi. Untuk bisa kesini pun
aku harus ijin dulu sama ibu. Ibuku terlalu perhatian.”
“Aku punya mimpi besar kalau sudah besar
nanti. Aku ingin membahagiakan kedua orangtua ku. Aku ingin mereka bisa bekerja
di rumah saja. Aku ingin memenuhi semua kebutuhan mereka.”
“Aku juga sama Langi. Aku sangat ingin
membalas kasih sayang orangtua ku. Mereka sangat mengasihiku selama ini. Saat
aku sehat, saat aku sakit, aku selalu disayang. Semoga orangtua kita selalu
mendapat kebahagiaan dari Tuhan.”
“Amin.” “Amin.” Jawab Langi dan Hanum
berurutan.
“Hei lihat, warna apa itu? Indri berteriak
kencang.
“Pelangi !!!”
“Wah, indah sekali.” Lebih indah dari yang
dijelaskan bu Erviana.
“Mungkin, pelangi itu pertanda Tuhan
mengamini impian-impian kita.” Ucap Indri.
“Iya, impian kita. Mimpi-mimpi
pelangi.”
“Ha..ha..ha.. ada Pelangi melihat pelangi.”
Mereka tertawa bersama keras sekali. Saat itulah pertama kali mereka lihat
pelangi. Cukup lama mereka nikmati keindahan itu.
“Hari sudah sore. Waktunya kita pulang.”
Ajak Langi pada Hanum dan Indri.
Mereka cepat berlari menyusuri pematang
sawah, menyeberangi sungai menuju komplek perumahan. Tak ada yang ingat dengan
keong-keong yang tadi mereka cari. Mungkin karena mereka terbuai oleh pelangi.
edy arif tirtana
4 komentar:
ehem...
absen sekalian baca critanya...
bagus tuh critanya...
syyiiph. moggoo-moggo
tapi tetep perlu kritikan yg membangun nih.. mbangun rumah
Posting Komentar