"Tujuan bukanlah utama; Yang utama adalah prosesnya" Pernah dengar penggalan lagunya Iwan Falz yang itu nggak? Halah, paling juga tidak. Oke, lupakan!
Selama tiga tahun terakhir, perhatian media sepak bola di seluruh dunia banyak tertuju pada dua arsitek penting: Pep Guardiola dan Jose Mourinho. Kenyataan ini mudah dipahami lantaran keduanya melatih di dua klub sepak bola terbaik di dunia pada saat itu. Pep Guardiola lebih dahulu membesut Barcelona sebelum beberapa tahun kemudian Mourinho berlabuh di Real Madrid. Kedua klub tersebut juga memiliki sejarah ‘permusuhan’ yang panjang, tidak hanya di dalam lapangan pertandingan tetapi juga di luar lapangan.
Bersama Barcelona, Pep meraih sukses besar. Ia pernah memenangi hampir seluruh kompetisi di jagad sepak bola dunia mulai dari Copa del Rey hingga piala dunia antar klub, tentunya yang melibatkan klub Barcelona. Oleh para pendukung Barcelona, Pep mendapat julukan the God Father. Di sisi lain, karir kepelatihan Mourinho juga tak kalah bersinar. Mourinho berhasil memutus dominasi Barcelona di Liga Spanyol. Sebelum berlabuh di Real Madrid, Mou, begitu akrab disapa, suksek membawa Inter Milan ke kasta tertinggi sepak bola Eropa, Liga Champion! Mou jugalah yang berhasil membawa Chealsea menjuarai Liga Inggris di awal kedatanganya di Stanford Bridge setelah puluhan tahun puasa gelar. Dari ‘the special one’, julukan Mou berubah menjadi ‘the only one.’
Terlepas dari pretasi gemilang keduanya, karakter Pep dan Mou adalah sering digambarkan putih-hitam. Pep dinilai sebagai sosok yang tidak banyak bicara, ramah, berkelakuan ‘baik’ (well mannered), dan ‘beradab.’ Sementara Mou tampil dengan gaya yang doyan bicara, arogan, angkuh, dan ‘pedas.’ Satu hal yang yang mungkin menjadi persamaan mereka adalah mereka sama-sama menjadi sosok yang paling dicari oleh wartawan dan awak media. Pep dicari karena keramahannya pada awak media, sementara Mou selalu dinanti karena komentar kontroversialnya.
Perbedaan juga terlihat jelas dari filosofi sepak bola yang mereka praktekkan di lapangan. Di lapangan pertandingan, Pep bersama Barcelona dinilai menyuguhkan sepak bola yang indah, atraktif, kolektif, dan cerdas melalui penguasaan bola (ball possession). Tiki-taka menjadi kata kunci tipe permainan mereka. Namun demikian, tipe permainan tersebut juga tak lepas dari kritik karena dinila membosankan, terlalu lama membawa bola, dan kurang efektif. Sementara itu, Mou , bersama sederet klub yang pernah dibesutnya, lebih akrab dengan tipe pragmatic football (sepak bola pragmatis) dimana hasil akhir adalah yang paling penting. Dalam filosofi tipe pragmatic football, penguasaan bola selama pertandingan berlangsung (proses) tidaklah penting. Yang terpenting adalah kemenangan di akhir pertandingan (tujuan), tak perduli apakah gaya permainan dianggap baik atau buruk. Apalah artinya bermain indah jika akhirnya kalah juga? Pragmatic Football jugalah yang akhirnya menjadi salah satu alasan Mou kurang disukai madridista, suporter Real Madrid. Mou dianggap mengacaukan gaya permainan sepak bola indah ala Real Madrid.
Apakah itu tipe tiki-taka ataukah tipe pragmatic football, toh nyatanya kedua pelatih besar itu terbukti sukses dengan gayanya masing-masing. Pragmatic football dinilai cukup jitu untuk merusak gaya permainan tipe tiki-taka dan ball possession-nya, dan begitu pula sebaliknya. Tiki-taka menitikberatkan pada proses, sedangkan pragmatic football pada hasil akhir atau tujuan.
*ganti cerita
Dalam sistem pendidikan dimana ujian akhir sekolah (nasional) adalah ‘raja,’ tipe siswa atau pembelajar seperti dalam sepak bola di atas sangat mungkin dijumpai. Banyak siswa yang sukses dalam ujian sekolah karena memiliki ball possession yang bagus selama proses pembelajaran berlangsung. Namun, tidak sedikit pula yang justru berakhir anti-klimaks; ball possession bagus tapi tidak lulus (kalah) dalam ujian sekolah. Demikian juga sebaliknya, tidak sedikit siswa yang sebenarnya kurang bagus dalam ball possession selama proses pembelajaran tetapi berhasil (menang) dalam ujian sekolah.
“Sepak bola ya sepak bola, belajar ya belajar. Tidak ada istilah kalah dalam belajar.” Ungkapan polos ini sangat benar, namun fakta bahwa ujian akhir sekolah telah menjadi semacam benteng terakhir yang menentukan kelulusan siswa juga tidak sepenuhnya salah. Kegagalan (baca: kekalahan) dalam ujian sekolah terbukti menurunkan mental siswa (ada yang sampai nenggak racun juga kan?). Entah ada unsur causalitas (sebab-akibat) atau tidak, yang jelas fakta ini membawa konsekwensi pada di-anak-emas-kannya mata pelajaran tertentu, di-anak-tiri-kannya mata pelajaran tertentu, diistimewakannya guru tertentu, diabaikannya guru tertentu, dan sebagainya. Siswa mulai melupakan gaya permainan indah sebagai suatu proses dan berorientasi hanya pada hasil akhir ujian. Tipe pragmatic football telah banyak menggelayuti pikiran para siswa.
Sudah barang tentu ada jalan tengah dari kedua tipe pembelajar tersebut. Aktif berpartisipasi dan berkontribusi dalam proses pembelajaran di kelas serta berprestasi dalam ujian sekolah sangat mungkin dilakukan.
Ah, bukankah di luar Pep dan Mou masih ada Fergie, Ancelloti, Mancini, Capello, Wenger, Heykens, Klopp, Conte, hingga Rahmad Darmawan? Hehehe… Jadi, tipe pembelajar seperti apakah kita?
*Ayo, sambil diminum kopinya, Kang.
Muhammad Jauhari Shofi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar