Adalah
waktu, cinta dan persahabatan. Tak ada yang kuasa melawan waktu. Waktu
membagi kita dalam segmen-segmen cerita yang selalu misterius. Tidak ada
yang ngerti hari esok akan terjadi apa. Apakah berseminya cinta,
penghianatan, tangis, tawa, tak ada yang ngerti. Inilah kisah yang
tiba-tiba, tak terduka antara Tara, Sinobi, Luna dan Kustiyan Nugroho.
SEGMEN
CERITA
Sinobi
sangat serius malam ini. Nada bicara dan ekspresi wajahnya nampak tak biasa.
Aku ngelihat mereka berdua sedang bercakap di warung lesehan Bu Heni.
“Sebelumnya
aku minta ma’af ya Lu. Sebenarnya…”
“Ma’af
kenapa Bi? Ada yang salah ya?”
Aku
yakin Luna berlagak bodoh saat ini. Dari dulu cewek emang lebih pinter nyembunyiin
kepinterannya ketimbang cowok. Luna pasti udah tahu apa maksud Sinobi
sebenarnya.
“Bu, tolong dibuatin dua porsi jagung bakar ekstra
pedas dong. Jangan lupa disisir. Kamu mau kan Bi? Eh iya, sama teh anget dua
bu. Kamu masih suka ngeteh kan?”
Benar-benar
sempurna. Kali ini Luna menang telak atas Sinobi. Ia sama sekali tak mau
ngikutin alur pembicaraan Sinobi. Lumrahnya
cewek pasti tahu jika seorang cowok ngawalin pembicaraan make kalimat
seperti itu. Dari ekspresi wajahnya pun udah bisa dilihat, masih ada terusan
kata-kata seharusnya. Benar kan? Luna emang cewek yang tak lumrah.
Kadang
interaksi itu seperti perang. Masing-masing orang berebut kuasa untuk megang
kendali. Contohnya ya seperti interaksi Luna dan Sinobi kali ini. Sinobi telah
kalah. Luna lah yang mengendalikan pembicaraan sekarang.
Topik
pembicaraan sekarang udah berubah. Sekarang Luna malah ngebahas Nanda, gadis
cilik yang pinter banget main gitarnya. Si Nanda biasa ngamen dari warung ke
warung. Jam segini biasanya ia udah nyanyi di warung bu Heni.
“Nah
itu dia si Nanda. Akhirnya nongol juga.” Luna sering seperti ini,
nyengir-nyengir sendiri saat ngelihat si Nanda main gitar. Matanya
berbinar-binar. Entah apa yang ia pikirkan tentang Nanda.
“Mana Lu?”
“Tuh
di sana. Belum lihat?” Luna menggandeng dan mengarahkan pandangan Sinobi ke
arah Nanda berada. Kepala mereka saling berdempetan. Kalau dalam serial FTV,
adegan seperti ini mesti dikasih efek slow motion. Posisi seperti inilah yang
membuat semua cowok tak berdaya di hadapan cewek. Mesra Abis.
“Oh,
di warung Sate itu ya?”
“Tepat.
Ia pinter banget main gitarnya. Aku suka. Andai saja ada cowok yang bisa main
gitar, trus mau buatin lagu cinta untuk aku. Pasti so sweet banget deh.” Luna
nampak unyu-unyu banget kalo sedang manja-manjaan gitu. Itulah yang mbuat
Sinobi punya perasaan spesial pada Luna. Cinta? Nanti dulu.
Sinobi
adalah sahabatku. Belum lama sih, tapi kami langsung ngerasa cocok pertama kali
ketemu. Kecelakaan lah yang membuat kami lama bersahabat. Mungkin persahabatan
kami masih berlangsung sampai sekarang. Itu kalau Sinobi masih mau nganggep aku
sahabat.
Sinobi
cowok yang baik. Ia nolongin aku saat terjadi kecelakaan itu. Aku jatuh dari
sepeda motor. Tak begitu parah sih, tapi yang jelas Sinobi sangat berjasa buat
aku. Lho nanti dulu, kok malah jadi pertemuanku sama si Sinobi sih yang
diceritain. Oke, sekarang lanjut lagi ke adegan Sinobi dan Luna di warung bu
Heni.
“Lu,
udah berapa lama ya kita kenal?”
“Wah,
lama banget. Kira-kira sudah dua tahunan ini lah. Aku masih inget pertama kali
kita ketemu. Saat itu lagi gerimis, romantis banget. Jika malam itu kamu mau
nembak aku, wah bisa nggak kuat aku menolaknya. Emang kenapa Bi?” Malam itu Luna
nampak sangat cantik. Rambutnya yang dikuncir belakang menambah rasa gimana
gitu. Hem, Luna Luna.
“Udah
banyak Lu yang kita lalui bersama. Aku udah ngerti kamu. Kamu juga udah ngerti
aku. Lalu …” Kelihatan banget jika omongan Sinobi itu masih bersambung. Kamu
bisa lihat ekspresi wajahnya, kaya ada yang belum keluar gitu. Tapi sayang, tak
ada yang tahu kalimat apa yang masih tersisa lantaran Luna langsung motong pembicaraan.
“Terus,
Kamu mau bilang kita emang cocok trus kita bisa pacaran gitu? Aku musti bilang
waw sambil lari-lari nggak? Kamu terlambat Bi kalau baru bilang sekarang. Dari
dulu kan emang kita udah saling cocok. Baru nyadar ya?” Luna emang hobi banget ngucapin
candaan seperti itu pada Sinobi. Ia tak sadar candaannya itu bisa mbuat Sinobi ngarep
banget.
“Kamu
sangat spesial buatku Lu.” Sinobi narik nafas panjang. Seperti ada beban berat
yang hilang. Ia merasa sudah mengeluarkan perasaan yang dua tahun ia pendam.
“Oh,
Kamu juga spesial banget buat aku Bi. Kamu mau dengerin curhat-curhatku. Kamu
sering nolongin aku saat kesulitan. Kamu telah memberi cerita berbeda dalam
hidupku Bi. Jujur, aku nyaman banget sama kamu. Kamu emang sahabat terbaik ku
Bi. Tak kan terganti. Nggak sembarangan orang bisa sesabar kamu.”
“Oh,
gitu ya. Tepat banget. Kita adalah sahabat.” Sinobi sembunyikan rasa kalutnya
dalam-dalam. Tapi tetap saja masih kelihatan olehku. Matanya itu tak bisa
berbohong.
Aku
tahu pasti apa yang dirasa Sinobi saat ngucapin kata-kata itu. Aku hafal banget
ekspresi itu. Rasanya sangat khas. Sakit tapi nikmat. Aneh? Tidak, karena rasa
itu sudah jadi sahabatku sejak dulu.
Cewek
emang lebih pinter menebar harapan ketimbang cowok. Apalagi pada tipe-tipe cowok
seperti Sinobi ini. Ia menganggap cinta itu super sakral. Tahu nggak, Sinobi
belum pernah satu kali pun pacaran semasa TK sampai sekarang. Katanya sih, ia sulit
jatuh cinta. Ia pernah cerita padaku bahwa cintanya pada Luna adalah yang
pertama.
Emang
kadang cinta itu ruwet. Bikin bingung, nangis, tak nafsu makan, senyum-senyum
sendiri, bikin emosi. Wah, pokoknya cinta itu oye banget lah. Serius.
Demi
cinta, Sinobi pernah melakukan hal yang sangat gila menurutku. Suatu saat Sinobi
pernah hilang dari peredaran gara-gara Luna. Kamu tahu apa yang dilakukan Sinobi?
Ia seharian nyiapin kejutan hanya untuk memberi surprise Luna di hari ulang
tahunnya. Over dramatis.
Dan
yang paling gokil lagi adalah kejadian setelah satu hari Sinobi menghilang. Ia rela
make kostum badut dan nyelonong masuk ke kelas Luna untuk memberikan kue ulang
tahun. Padahal saat itu ada dosennya lho. Super nekat.
Begitulah
cinta. Tak masuk akal. Gokil. Nekat. Tapi yang jelas, cinta itu indah. Sumpah,
indaaah banget.
“Pulang
yuk Bi. Aku udah ngantuk nih.” Ajakan Luna memaksa Sinobi untuk pulang meski
masih ada hasrat untuk berlama-lama bersama Luna. Masih ada topik yang belum
tuntas terbahas. Tentang perasaan. Tentang rasa cinta Sinobi pada Luna yang
belum terjawab jelas.
Mereka
pun pulang bersama. Seperti biasa, Sinobi mengantar Luna ke kosnya. Kos itu
masih awet seperti dulu. Tak ada yang berubah sejak tiga tahun yang lalu. Gerbang
besi warna coklat, tembok warna ungu dan halaman yang cukup luas untuk memarkir
tiga mobil dan enam motor milik penghuni kos.
Dengan
motornya, Sinobi melintas jalan depan warung bu Heni. Kencang sekali.
Sepertinya ada yang akan ia temui segera. Kamu tahu siapa yang akan ditemui Sinobi?
Aku.
Malam
selalu ngasih suasana beda untuk bicara dari hati ke hati. Entalah, malam
seperti sengaja dicipta untuk mengungkapkan rahasia. Malam itu Sinobi bertemu
dan ngajak nongkrong bareng di pinggir jalan. Melihat mukanya yang kusam dan
layu, aku sudah tahu apa yang ia rasakan.
“Galau
ya?”
“Iya
nih. Aku bingung dengan perasaanku. Tentang cinta, persahabatan, keikhlasan.
Ah, tapi entahlah. Semuanya sangat ruwet berjubel di kepalaku.”
“Soal
Luna?”
“Bener.
Tentang perasaanku pada Luna. Hatiku sudah tertambat padannya sejak dulu. Sejak
dua tahun yang lalu.”
“Udah
kamu ungkapin?”
“Udah.
Tapi entahlah. Sepertinya ia tak begitu paham dengan ungkapanku. Ia sama sekali
tak serius memberi jawaban.”
“Cewek
emang super pintar nyembunyikan sesuatu Bi. Itulah alasan mengapa mereka lebih
anggun dan layak dihargai. Kadang kamu takkan ngerti muka asli seorang cewek. Cewek
sangat lihai memakai topeng. Entahlah, aku juga tak begitu tahu apa maksud
mereka. Tapi yang jelas, topeng mereka itu mampu meluluhkah hati kaum cowok.”
“Ah,
bahasamu itu terlalu banyak kiasan Bi. Aku tak tahu apa maksudmu.” Sinobi
menurunkan tas yang dari tadi digendongnya. Rupanya ia sudah menyiapkan snack
dan sebotol minuman sebagai teman kita ngobrol malam itu.
“Untuk
ngerti, Kadang suatu perkataan tak perlu dipahami Bi. Kamu tak usah memaksa
paham untuk sekedar tahu apa yang musti kamu lakukan.”
“Ah,
kamu ini. Yang mau curhat kan aku. Kok malah kamu membuatku bingung dengan
kiasan-kiasan yang tak aku pahami. Jangan-jangan ini trik mu untuk mengalihkan
pembicaraan. Kamu sudah bosan pasti mendengar curhatku tentang Luna kan?”
“Tidak.
Tidak seperti itu Bi.”
“Ah,
kamu juga tak usah memakai topeng di hadapanku. Aku tahu kamu bosan. Aku tak
terlalu bodoh membedakan orang tertarik dan bosan. Tapi sebagai sahabat, kamu
tetap perlu mendengarku bicara saat ini Bi.” Muka Sinobi melas banget. Mbikin
aku tak mampu lagi menjawabnya.
“Entahlah,
keberadaanmu seperti candu buatku Bi. Aku seperti kehilangan percaya diri untuk
sekedar ngambil keputusan tentang apa yang harus aku lakukan. Cinta cinta.
Seperti apa sih bentukmu, baumu, suaramu. Benarkah kau adalah racun yang
mengenakkan? Entahlah.”
Kejadian-kejadian
seperti ini kerap kali terulang. Malam-malam, duduk di pinggir jalan.
Menertawakan diri sendiri, hidup dan nasib. Aku sendiri lebih suka menertawakan
nasib dari pada menangisinya. Tertawa bagiku adalah bukti bahwa aku masih punya
Tuhan.
Seperti
biasa, kami selalu kalah oleh waktu. Waktu memaksa obrolan kami berhenti. Waktu
seolah membagi-bagi kami dalam berbagai segmen cerita. Kami akhirnya pulang dan
melanjutkan segmen cerita masing-masing. Iya, cerita tentang cinta dan
kehidupan.
###
Aku
banyak belajar tentang cinta dan kehidupan dari paman. Bukan paman beneran sih,
tapi pantaslah jika aku panggil lelaki paruh baya itu dengan sebutan paman.
Nama sebenarnya adalah Kustiyan Nugroho. Aku kerap ngobrol-ngobrol dengan
beliau lantaran sering diminta tolong untuk ngetik. Paman adalah pemahat
sekaligus pegawai negeri yang sampai sekarang hidupnya masih sendiri.
Suatu
saat aku ditanya tentang pacar. Rupanya beliau tak percaya jika sampai sekarang
aku belum punya pacar.
“Aku
masih suci Paman, aku belum pernah satu kali pun pacaran.”
“Jangan
bohong kamu. Masak pemuda ganteng seperti kamu tidak pernah pacaran. Mubadzir. Kamu
punya banyak teman wanita kan?”
“Banyak
sih, tapi cinta kan tidak segampang itu paman.”
“Jangan-jangan
kamu homo. Tapi kamu pernah jatuh cinta sama wanita kan?”
“Jangan
sembarangan ah paman. Kalau jatuh cinta sih pasti pernah. Ada tiga wanita yang
pernah aku cintai sampai sekarang.”
“Tidak
pacaran?”
“Tidak.
Semua hanya cukup merasa nyaman denganku. Mereka tidak menolakku untuk bersama,
tapi mereka juga tidak mengijinkanku menjadi pacarnya. Entahlah. Wanita emang
kejam, misterius tapi menarik.”
“Nah,
ini. Sekarang definisimu tentang wanita tidak konsisten. Tiga sifat wanita yang
kau ucapkan itu saling berlawanan. Tidak mungkin dijadikan satu.”
“Sebenarnya
aku belum banyak tahu tentang wanita paman. Sama misteriusnya dengan cinta, aku
masih bingung membedakan cinta dan kenyamanan. Entah apa sebenarnya yang wanita
cari, kenyamanan, kecocokan, keasyikan, kemewahan, aku tak tahu paman. Setahuku
wanita lebih suka pria yang agak nakal ketimbang yang lurus-lurus aja. Pria
kadang dituntut menjadi penggoda jika menginginkan hati wanita.”
Paman
beranjak dari tempat duduk dan mendekat ke arahku. Beliau menepuk pundakku.
Terlihat beban berat tersimpan dalam di matanya. Mata itu selalu terlihat
misterius bagiku. Mata yang di dalamnya ada setumpuk rahasia.
“Apalagi
kamu yang masih muda BI. Paman pun sampai sekarang tak tahu benar tentang itu.
Bagaimana seharusnya cinta, kasih sayang, pacaran, paman juga tak begitu tahu.
Sampai sekarang paman tak menemukan satu pun definisi mutlak tantang beberapa
hal itu.”
“Itukah
alasan mengapa sampai sekarang paman masih sendiri?”
“Itulah
kebodohanku. Aku terlalu mensakralkan yang namanya cinta. Sampai sekarang aku
masih memuja kesetiaan Bi.” Sejenak pandangan paman menerawang kosong.
“Ah,
tapi entahlah. Sudah selesai ketikannya? Ada yang kamu tanyakan? Sebaiknya aku
belikan kamu kopi dan gorengan ke warung dulu ya. Atau kamu lapar. Aku belikan
nasi juga ya. Mau kan?” Tak menunggu jawabanku paman bergegas menuju pintu dan
keluar. Paman terlihat gugup dan tergesa-gesa.
Baru
kali ini aku lihat mata paman berkaca-kaca. Paman adalah sosok tegar dan berpandangan
luas tentang kehidupan. Banyak kata-kata beliau aku kutip dan aku jadiin status
di facebook. Kadang juga aku sebarin lewat SMS. Aku banyak mencuri ilmu hidup
dari paman.
Cinta,
cinta seperti apa sih kamu sebenarnya? Baumu? Warnamu? Bagaimana bentukmu? Apa
benar kamu itu seperti gambar daun waru? Entahlah.
Tak
lama kemudian paman datang membawa dua porsi nasi, gorengan dan kopi hitam. Kami
berdua emang suka kopi hitam. Kopi hitam bagiku adalah teman mengungkap rahasia
malam. Segmen cerita malam itu kami akhiri dengan saling berucap terimakasih.
###
Kata
orang tua di desaku, jika burung Prenjak banyak berkicau di depan rumah, itu
tandanya ada tamu yang mau datang. Aku juga pernah dibilangin ibuku tentang
rindu. “Bi, jika kamu sedang rindu dengan seseorang yang kamu sayang, panggil saja
namanya. Tapi harus dengan hati dan pikiranmu. Ia pasti bisa merasakan disana.”
Pagi
ini Luna ke kos ku lagi. Tak seperti biasa yang terkesan setengah tomboy. Ia
nampak lebih anggun dengan gamis dan tas jinjing di bahunya. Tak aku lihat lagi
rambut yang terikat di bagian belakang lehernya. Ia sekarang memakai jilbab.
“Tumben
kamu memakai jilbab Lu.”
“Aneh
ya ada cewek yang make jilbab?”
“Tidak
juga. Tidak biasa saja melihat kamu memakai jilbab. Tambah cantik kok.” Ia
sembunyikan senyumnya di belakang telapak tangan.
“Semalam
aku sudah jujur pada Sinobi tentang statusku. Tinggal giliranmu sekarang. Kita
harus jujur dengan apa yang kita rasa dan alami Bi.” pandangannya nampak serius
penuh harapan. Aku selalu leleh dengan pandangan Luna yang seperti itu.
“Aku
rasa ini bukan waktu yang tepat Lu.”
“Tidak.
Inilah waktu yang paling tepat. Sampai kapan kita harus membohongi Sinobi.”
Tatapan mata Luna itu semakin membuatku leleh tak berdaya.
“Baiklah
aku akan jujur dan berterus terang pada Sinobi sekarang.”
Ia
keluarkan handphone dan mencari nama Sinobi pada daftar phone booknya. Ia
melakukan panggilan.
“Sebaiknya
kau bicarakan sekarang pada Sinobi.” Aku tak punya daya dan alasan untuk
menolak permintaannya.
“Hallo,
Luna. Ada apa kamu telephone aku?” Suara Sinobi terdengar pelan dari speaker handphone
yang aku pegang.
“Ini
bukan Luna Bi. Ini aku, Tara. Tolong kau dengar baik-baik beberapa perkataanku.
Aku hanya ingin jujur padamu, Luna dan diriku sendiri Bi. Kamu ngerti mengapa Luna
tak pernah serius menjawab ungkapan cintamu? Alasannya adalah aku Bi. Aku
adalah pacar Luna.”
“Cikken kamu Tar!!!” Telephone langsung terputus. Luna
memelukku. Saat ini aku tak bisa bedakan mana bahagia, kecewa dan mana derita.
Mataku terpejam berharap segmen cerita ini segera berakhir dan cepat berganti
dengan segmen cerita yang lebih indah buatku, Sinobi, Luna dan paman Kustiyan
Nugroho.
Jepara,
Maret 2013
Edy
Arif Tirtana
14 komentar:
Cerita yang menarik..
Nice post. Amazing story
artikel ni kalau dijadiin buku kayaknya bagus deh..
dapat inspirasi dari mana nih? bagus ceritanya
aku baca ini sambil makan masakan buatan sendiri. seru...
Sekedar usul, sebaiknya ditambahin cerita-cerita terkait sehingga orang akan berlama-lama di blog ini. keren..
nice post. lanjutkan terus...
inspirasinya dari mana-mana bang.. he..he..
wah, pasti enak tuh masakannya. aku lihat juga banyak resep masakan di sedapdansehat. uwwwenak-uwwenak, bikin nnggilerrrr..
menarik sapi ya jenderal ya.. he..he...
thanks sampun kerso komen jenderal..
cerita terkait maksudnya gimana ya jenderal? masih tuing-tuing nih..
syyiiph jenderal, mandat diterima. lanjooott...
iya-iya, kayaknya bagus he..he..
Posting Komentar